Aris
Andrianto (37) menjadi tukang ikan berprestasi dari Kota Blitar.
Inovasinya terkait teknologi tepat guna (TTG) yang diterapkan untuk
budidaya ikan koi pada kelompok Mina Kebon Sari mendapat penghargaan
tinggi dari Provinsi Jawa Timur. Dia menjadi juara pertama dengan
menyisihkan banyak inovator TTG. Dengan juara itu Aris juga berhak atas
hadiah Rp 10 juta untuk pembinaan.
Aris
berkisah bahwa perjuangannya berbisnis budidaya ikan koi dimulai dari
paling bawah. Tetapi, karena disebabkan sesuatu hal, bisnis ini sempat
ditinggalkan untuk mengejar ringgit ke Malaysia seperti pemuda kampung
lainnya. Dua tahun menjadi tukang las Malaysia, kembali lagi ke
Indonesia untuk berdagang. “Tapi juga tidak cocok,” katanya. Gagal
menjadi pedagang Aris mencoba menenuni kembali budidaya ikan koi.
Perkenalan
Aris dengan ikan koi bermula dia saat bersepeda di kawasan Nglegok,
Kabupaten Blitar, 1996. Nglegok banyak menyimpan pedagang ikan hias,
jenis ikan koi yang digemari. Aris terkesima dan tertarik melihat
ikan-ikan koi di dalam empang.
Ternyata
empang itu milik seorang juragan ikan bernama Thungkel, yang merupakan
pesohor ikan koi di Nglegok. Esoknya Aris datang lagi ke tepi empang
untuk melihat ikan. Hampir setiap hari Aris melakukan itu. Sampai
akhirnya dia berkenalan dengan Thungkel. Dalam kesempatan lain, setelah
keduanya cukup akrab, Aris dipinjami lahan dan diberi ikan olehnya.
Mendapat
kesempatan emas itu Aris kontan menempatkan diri di bawah usaha
Thungkel. Tanpa dibayar. Aris membantu apa saja untuk keperluan ikan koi
juragan tersebut. Seiring dengan kepercayaan Thungkel, Aris ikut
menyeleksi benih ikan-ikan koi yang hendak dibesarkan atau dipasarkan.
Sebagai upah kerja kerasnya,dia diberi benih ikan koi. Hingga akhirnya
pemberian itu mencapai 1000 ekor. Ini adalah hal yang tak terlupakan
dalam hidupnya, sebab ternyata pemberian itu dimaksud kan Thungkel
sebagai modal kerja bagi Aris untuk memulai sebuah usaha budidaya ikan.
“Untuk
mengawali usaha saya menyewa sawah beberapa petak. Beberapa kali juga
berhasil panen dan cukup menguntungkan. Saya serahkan semuanya ke beliau
sebab modal semua berasal darinya. Namun ia malah menolak. Bagi Pak
Thungkel yang sudah seperti bapak saya itu, usaha ini bukan sebagai
saingan dari usaha miliknya. Tapi lebih sebagai partner dalam usaha,”
kata pria kelahiran Blitar, 11 Mei 1973, ini.
Ketika
pengalamannya budidaya koi ini makin baik, tiba-tiba muncul isu dari
kolektor-kolektor koi di Jakarta yang menyebutkan bahwa ikan koi asal
Blitar tidak ada yang bagus. Katanya, bagaimana mau bagus wong
memeliharanya di sawah. Ini yang membuat ikan koi asal Blitar menjadi
gonjang-ganjing harga pasarannya. Terpancing dengan isu itu, diam-diam
Aris berburu pengetahuan soal budidaya ikan lebih luas. Budidaya ikan
apa saja. Ia blusukan ke berbagai kota dan kampung-kampung yang memiliki
sentra ikan terutama yang memiliki inovasi.
Dari
pengalamannya berkeliling itu terbetiklah satu ide, kenapa ikan koi
tidak dibudidaya saja di kolam terpal seperti umumnya bu-didaya ikan
lele di beberapa daerah. Aris menemui banyak kendala,sebab ikan koi
menuntut hidup di air yang terus menerus jernih, sementara di terpal air
cepat keruh.
Nyaris
saja ide dibuang, dan beralih ke kolam permanen yang terbuat dari semen
cor seperti laiknya kolam-kolam standar untuk memelihara ikan koi. Tapi
Aris terbentur modal, di mana membangun kolam cor yang untuk perseribu
benih ikan koi paling tidak membutuhkan modal tak kurang dari Rp 50
juta.
Setelah
memutar otak dan serangkaian percobaan, ide kolam terpal itu tak jadi
dibuang. Kolam ikan terpal tetap diterapkan dengan tambahan filter-filter
air yang ia ciptakan dengan sedikit meniru teknik tetangganya yang
sedang membuat tandon air. Cara mengerjakan tandon air yang sederhana
itulah yang ia tiru. Bahwa tandon air itu dibangun dengan teknik knock
down alias bongkar pasang. Dalam hati ia berpikir, mampukah menahan
beban air jika kapasitas tandon airnya besar.
Maka
bekerjalah dia membuat filter-filter dengan plat beton penjernih air yang
dikreasikan dengan teknik bongkar pasang ala tandon air milik
tetangganya. Plus, untuk menghemat biaya Aris memanfaatkan limbah-limbah
terutama limbah serutan karung plastik untuk alat penyaring. Serutan
plastik itu sekaligus sebagai pengganti biobol alias rumah bakteri
penjernih air yang harganya relarif mahal. Per satuannya seharga Rp
130.000, padahal untuk per kubik air membutuhkan biobol tak kurang dari
1000 buah.
Selama
tahun 2002-2005 Aris berkutat dengan eksperimen kolam terpal dan filter
perjernih dari limbah plastik. Minimal dalam setahun ia melakukan
ujicoba 2-3 kali percobaan. Dalam satu kali percobaan minimal pula ia
harus merogoh kocek Rp 4 juta. Selama hasil percobaan, ternyata ikan koi
pertumbuhannya jauh lebih bagus. Ikan menjadi lebih sehat dan warnanya
jauh lebih mencorong karena lebih pas dengan suhu kolam terpal. Begitu
juga dengan ikan-ikan milik kelompok budidayanya yang diberi nama Mina
Kebon Sari.
Di
tahun keempat masa percobaan, Aris pun berhasil dengan kolam terpal
eksperimennya. Namun ia tak berhenti sampai di situ, kolam-kolam terpal
selanjutnya diinovasikan untuk penghematan lahan. Jadi, sekarang, siapa
pun bisa memelihara dan berbisnis ikan koi andai ia tidak punya lahan
yang cukup di rumahnya. Inovasi Aris akhirnya mendapat sambutan luas di
kelompoknya, juga dalam komunitas ikan koi yang lebih besar. “Untuk
standar budidaya ikan koi, prasarana yang dibutuhkan minimal mencapai Rp
50 juta. Namun inovasi kolam terpal dan filter knock down ini, biaya
bisa ditekan sampai hanya di kisaran Rp 14 juta saja,” beber lulusan STM
K Blitar tahun 1989.
Temuan
Aris ini juga membuat dirinya makin mapan secara ekonomi. Kalau dahulu
hanya mengandalkan ikan koi penghasilannya per bulan rata-rata Rp 2-6
juta, kini dengan menjadi konsultan dari kolam inovasinya dia mampu
meraup penghasilan di atas Rp 14 juta dalam sebulan. Penghasilan
meningkat ini juga menular kepada anggota kelompoknya, sebab ikan-ikan
dari kelompok Mina Kebon Sari bisa dipastikan akan berkualitas sangat
bagus.(bapemas.jatimprov.go.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar